MENGENAL SEJARAH PANDE BESI TRADISIONAL
MENGENAL SEJARAH PANDE BESI TRADISIONAL
Pande telah dikenal sebagai seseorang yang terampil membuat
bermacam-macam benda besi. Istilah pande telah disebut dalam prasastiprasasti
Jawa kuno sebagai pande / pandai wsi. Pande yang sangat berperan
menyediakan beragam peralatan logam bagi masyarakat, saat ini dalam
posisi terpinggirkan. Keahlian dan ketrampilan turun-temurun dari generasi ke
generasi yang membuat profesi ini masih bertahan hingga sekarang.
Kata kunci: pande, tempa, sejarah
Pande Besi: Dulu.
Dalam kehidupan manusia paling tidak ada empat jenis bahan utama
yang pada umumnya dipakai oleh manusia untuk pembuatan alat, yaitu
tanah, batu, logam, dan kayu atau bambu. Tiga jenis bahan yang pertama
adalah jenis bahan yang seringkali masih bertahan menghadapi “gigi waktu”
sehingga dapat ditemukan para peneliti, ketiga jenis bahan tersebut memiliki
proses yang lebih rumit dibandingkan dengan yang lain, terutama bahan
logam. Itulah sebabnya teknologi logam pada umumnya, merupakan
indikator perkembangan peradaban tinggi yang telah dicapai manusia.
Menurut Wertime, teknologi logam termasuk sebagai extractive technology,
yaitu teknologi yang dalam prosesnya mengurangi, dari bahan dasar
teknologi logam
pada umumnya,
merupakan
indikator
perkembangan
peradaban tinggi
yang telah
dicapai manusia.
kemudian direduksi sampai menjadi bentuk artefak. Diawali dari tahap
pengadaan bahan mentah dengan cara penambangan bijih logam, kemudian
dilanjutkan dengan pengolahan untuk mendapatkan bahan siap pakai sampai
kemudian menjadi artefak. Proses yang rumit itulah yang kemudian
melahirkan pengetahuan metalurgi. Dalam sejarah peradaban manusia,
penggunaan dan pemanfaatan logam merupakan suatu revolusi teknologi,
dalam pengertian bahwa telah terjadi perubahan teknologi dari teknologi batu
atau tanah ke teknologi logam (Haryono, 2008: 50).
Secara hipotesis J.L.A. Brandes pernah menyatakan bahwa jauh
sebelum mendapat pengaruh dari kebudayaan India, bangsa Indonesia telah
memiliki pengetahuan dan kemampuan dalam bidang metalurgi (ilmu yang
berkaitan dengan logam). Pengetahuan metalurgi merupakan salah satu dari
10 unsur kebudayaan yang telah dimiliki bangsa Indonesia, yaitu: wayang,
gamelan, ilmu irama puisi, membatik, mengerjakan logam, sistem mata uang,
ilmu pelayaran, astronomi, penanaman padi, dan birokrasi pemerintahan
(Haryono, 2008: 60). Selanjutnya Timbul Haryono berpendapat bahwa
pengetahuan teknik mengolah logam di Jawa bukanlah pengetahuan yang
datangnya secara tiba-tiba diperkenalkan dari luar, sejak masa pra-hindu
pengetahuan tersebut telah diturunkan dari generasi ke generasi sampai
periode klasik (Haryono, 2001: 80). Untuk memperoleh gambaran tentang
kelompok pande besi di Jawa pada masa klasik dapat digunakan beberapa
sumber. Sumber-sumber tersebut antara lain, prasasti, relief candi, serta
artefak-artefak lainnya yang dapat dijumpai di berbagai museum (Subroto
dan Pinardi, 1993: 207). Prasasti dibuat atau dikeluarkan oleh seorang raja,
biasanya berhubungan dengan dengan upacara penetapan sima. Namun
demikian, di dalamnya banyak dijumpai adanya keterangan-keterangan lain
yang dapat memberikan gambaran tentang stratifikasi sosial, kelompokkelompok
masyarakat berdasarkan profesinya, barang-barang yang
diproduksi, hak, dan kewajibannya, serta ketentuan-ketentuan lain yang
harus ditaati (Subroto dan Pinardi, 1993: 213).
Berdasarkan data yang ada, dapat diperoleh gambaran bahwa
kehidupan masyarakat Jawa kuno umumnya bertumpu pada sektor
pertanian. Kondisi tanah yang subur dan pengaturan irigasi yang mantap
memungkinkan masyarakat dapat panen padi setahun dua kali. Hal ini
mengakibatkan surplus hasil padi (beras) di masa lampau termasuk komoditi
interinsuler dan internasional. Dengan demikian sektor pertanian merupakan
tulang punggung perekonomian negara. Meskipun demikian, sektor
perdagangan pun ikut berperan sebagai pendukung perekonomian negara,
karena pada masa klasik kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia sudah
melakukan kontak dagang dengan pulau-pulau lain maupun negara-negara
lain. Jalur pelayaran laut maupun sungai mendorong berkembangnya
perekonomian di masa itu. Di samping sektor pertanian dan perdagangan,
ternyata ada sektor lain yang sangat besar peranannya dalam mendukung
jauh sebelum
mendapat
pengaruh dari
kebudayaan
India, bangsa
Indonesia telah
memiliki
pengetahuan dan
kemampuan
dalam bidang
metalurgi
keberadaan kerajaan, yaitu kelompok penggarap industri, khususnya untuk
memenuhi berbagai kebutuhan, baik golongan raja dan bangsawan maupun
masyarakat umum. Data arkeologis menunjukkan bahwa kelompok-kelompok
penggarap industri cukup memegang peranan penting dalam menunjang
kehidupan perekonomian masyarakat Jawa kuno pada umumnya, maupun
kehidupan perekonomian, sosial, budaya dalam suatu kerajaan. Dalam
prasasti-prasasti maupun kesasteraan kuno sering dijumpai sebutan berbagai
jenis kelompok kerja kerajinan dan ketrampilan. Kelompok ini sangat
dibutuhkan dalam menunjang kehidupan masyarakat Jawa kuno, tidak saja di
bidang ekonomi tetapi juga bidang politik, sosial, dan budaya. Dalam sistem
pemerintahan kerajaan dituntut adanya pemenuhan kebutuhan yang
diperlukan oleh berbagai institusi yang ada dalam suatu sistem pemerintahan
tersebut. Untuk dapat memenuhi kebutuhan tersebut, kerajaan perlu
melibatkan rakyatnya untuk mengembangkan bakat dan keahlian yang
dimilikinya. Kondisi seperti inilah yang kemudian menumbuhkan berbagai
kelompok pekerja spesialis dalam masyarakat Jawa kuno (Subroto dan
Pinardi, 1993: 207). Oleh karena kelompok penggarap industri bekerja di
samping untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan rakyat biasa, juga untuk
memenuhi kebutuhan raja dan kerabatnya, maka diantara mereka sebagian
ada yang tinggal di dalam atau di dekat pusat kerajaan dan ada yang
sebagian besar tinggal di luar pusat kerajaan (Subroto dan Pinardi, 1993:
210).
Informasi mengenai kelompok masyarakat industri dapat ditemukan
dalam prasasti-prasasti dari periode Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Beberapa prasasti tersebut yaitu, prasasti Ayan Teas 890 M, prasasti Taji 891
M, prasasti Watu Kura 892 M, prasasti Kembang Arum 892 M, prasasti
Telang 893 M, pasasti Poh 895 M, prasasti Kikil Batu I; II 895 M, prasasti
Balitung I; II 897 M, prasasti Wukajana 908 M, prasasti Barsahan 908 M,
prasasti Baru 1030 M, prasasti Pikatan 1116 M, prasasti Plumbangan 1140
M, prasasti Penampihan 1209 M, prasasti Kudadu 1294 M, prasasti Sido
Teka 1323 M, dan prasasti Kambang Putih (tanpa tahun). Informasi
mengenai berbagai hal yang berhubungan dengan kelompok kerja spesialis
dapat diperoleh dari sumber prasasti tersebut, antara lain mengenai jenis
pekerjaan ketrampilan (Subroto dan Pinardi, 1993: 208). Salah satu
kelompok kerja spesialis tersebut adalah kelompok pande besi. Kelompok
pande besi biasanya disebutkan bersama dengan kelompok pande atau
pandai logam lainnya, seperti yang terekam dalam beberapa prasasti berikuti
ini, prasasti Watukura disebutkan adanya kelompok pande, antara lain pande
mas, pande tamta, pande kangsa, pande wsi, pande dadap. Prasasti Ayam
Teas disebutkan pandai malang, pandai tembaga, pandai besi dan pandai
gamelan. Prasasti Taji disebutkan adanya pandai mas, pandai besi, pandai
tembaga dan pandai kuningan. Prasasti Telang disebutkan keberadaan
pandai mas, pandai besi, pandai tembaga, dan pandai gamelan. Prasasti
Informasi
mengenai
kelompok
masyarakat
industri dapat
ditemukan
dalam prasastiprasasti
dari
periode Jawa
Tengah
maupun Jawa
Timur
Baru disebutkan pandai mas, pandai besi dan pandai kuningan. Prasasti
Kambang Putih disebutkan adanya pandai emas, pandai gangsa, pandai
singasingan, pandai besi dan pandai gelang. dan Prasasti Turu Manganbil
disebutkan adanya pandai mas, pandai tembaga, pandai besi dan pandai
gangsa atau gamelan (Subroto dan Pinardi, 1993: 208). Di dalam prasasti
Waharu I, (795 Saka) disebutkan ada mapandai wsi, mapandai mas,
mapandai dang, mapandai kawat, (II.a: 14). Dalam prasasti Waharu IV (853
Saka) disebutkan apamandai mas, amapandai wsi, apamandai kangsa,
apamandai dang (Haryono, 2001: 97). Selanjutnya di dalam prasasti Sadang,
disebutkan apande, wsi, apande mas, apande dadap, apande singasingan,
apande kawat, apande gangsa, apande kamra, apa,de petak, apande salaka,
apande dang. Istilah–istilah tersebut di atas menunjukkan adanya spesialisasi
pekerjaan, baik berdasarkan bahan logam maupun jenis barang yang
diproduksi. Istilah apande wsi menunjukkan bahwa ia adalah tukang pande
yang khusus atau ahli membuat barang-barang dari besi. Barang-barang
tersebut mungkin sekali adalah alat pertanian dan senjata (Kusen et.al.,
1993: 253-254). Pengerjaan barang-barang dari logam merupakan
penciptaan kekuasaan, sebab alat-alat dari logam pertama-tama diperlukan
untuk perang, baru sesudahnya untuk pertanian. Logam, khususnya besi,
dipandang mengandung kekuatan dan keteguhan (Reid, 2011: 120). Apande
dadap adalah tukang pande yang khusus membuat selungkung, perisai
panjang. Adapun kata singasingan berasal dari kata singi yang berarti tajam,
maka istilah singasingan dapat diartikan sebagai tukang yang membuat
senjata tajam. Istilah apande kawat menunjuk pada tukang pembuat kawat.
Apande gangsa adalah tukang pembuat barang-barang dari perunggu.
Apande tamta adalah tukang membuat barang-barang dari tembaga. Apande
petak, mungkin sekali berhubungan dengan logam berwarna putih yang
menunjukkan kepada perak. Apande dang berarti tukang pembuat dandang,
yaitu periuk untuk menanak nasi yang biasanya terbuat dari tembaga (Kusen
et.al., 1993: 254).
Beberapa prasasti memberikan keterangan tentang jenis benda yang
dihasilkan pande besi, Prasasti Rukam memberikan keterangan: bendabenda
yang terbuat dari besi (berupa) kampak, kampak peribas, belitung,
sabit, tampilan (?) 4 linggis, 4 tatah, tajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit
(?), jarum. Kemudian Prasasti Litikan (841 saka): benda-benda yang terbuat
dari besi (berupa) kapak, beliung, kapak peribas, sabit, tombak pendek,
sekop kecil, pisau, keris, parang, linggis, tajak (Haryono, 2001: 100-102).
Bahkan Prasasti Biluluk II memberikan keterangan tentang adanya alat
rumah tangga dari besi, yaitu kawali wsi (Kusen, Edi Triharyantoro, Timbul
Haryono, 1993: 254). Melihat konteks kalimat yang menyebutkan kawali wsi
menunjukkan bahwa kalimat tersebut berarti kuwali yang terbuat besi. Sejauh
data yang dikumpulkan, sampai saat ini belum ditemukan bahwa diantara
benda-benda hasil karya pande logam adalah kuwali besi. Logam besi
Logam,
khususnya
besi,
dipandang
mengandung
kekuatan dan
keteguhan
adalah jenis logam yang pengerjaannya termasuk teknik tempa panas (hot
working). Pembuatan periuk atau kuwali dengan teknik tempa panas cukup
rumit dan memerlukan ketrampilan khusus serta memakan waktu yang lama.
Demikian pula apabila pembuatan periuk menggunakan teknik cetak, maka
memerlukan peralatan dan ketrampilan yang tinggi, karena titik lebur besi
adalah 1535° C. Menurut Neddham teknik cetak besi dalam kebudayaan
logam adalah ciri teknologi logam Cina yang sudah berkembang sejak kurang
lebih 1000 SM. Oleh karena itu penyebutan kuwali besi di dalam prasasti
masa Majapahit sangat menarik. Seandainya pada masa Majapahit tersebut
memang ada tradisi pembuatan periuk dari besi, maka tidak menutup
kemungkinan bahwa tradisi teknologi tersebut akibat dari pengaruh Cina
(Haryono, 2001: 106).
Keterangan lain yang diperoleh dari isi prasasti adalah mengenai
peran dan kedudukan para kelompok kerja keahlian dan ketrampilan. Bahwa
mereka mempunyai peranan yang penting di dalam masyarakat umum
maupun di dalam kehidupan kerajaan, dapat ditunjukkan antara lain di dalam
prasasti Sido Teko (1323 M). Di dalam prasasti ini juga didapatkan
keterangan lainnya, yaitu mereka dikenai pajak produksi yang harus
diserahkan kepada raja melalui petugas penarik pajak. Petugas penarik pajak
tersebut dikenal dengan istilah: Mangilala drwya haji (Subroto dan Pinardi,
1993: 208).
Mereka (masyarakat pande) membentuk kelompok sendiri yang
diketuai oleh seorang pemimpin disebut dengan istilah ‘tuha gusali’ atau juru
gusali. Tempat ‘gusali’ yaitu ‘gusalian’ tersebut sekarang menjadi ‘besalen’
yang artinya juga tempat pertukangan logam (Haryono, 2008: 61-64).
Demikian pula dari prasasti dapat diketahui berbagai jabatan yang
berhubungan dengan penggarap atau penggarapan industri, sebagai contoh
adalah prasasti Pikatan 1106 M, dapat dijumpai keterangan mengenai
kepala-kepala kelompok di dalam masyarakat Jawa kuno yang disebut
dengan tuha atau juru. Kata tuha menunjukkan untuk kelompok pekerjaan
yang lebih umum, misalnya tuha judi, yaitu untuk sebutan kepala judi.
Sedangkan kata juru lebih menunjukkan kepada pekerjaan khusus atau
keahlian, sebagai misal juru gusali, yaitu untuk sebutan kepala kelompok
pande (Subroto dan Pinardi, 1993: 210).
Sumber dari relief memang tidak begitu banyak yang memberikan
gambaran tentang kelompok penggarap industri ini. Namun ada satu adegan
dalam salah satu relief Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu yang
menggambarkan suatu kelompok industri khususnya pande besi. Bahkan
pada relief tersebut terlihat pula gambaran tentang alat-alat yang digunakan
serta alat-alat yang dihasilkan (Subroto dan Pinardi, 1993: 208-209).
Mereka
(masyarakat
pande)
membentuk
kelompok
sendiri yang
diketuai oleh
seorang
pemimpin
disebut dengan
istilah ‘tuha
gusali’ atau
juru gusali
Gambar 1. Salah satu relief Candi Sukuh yang menunjukkan keberadaan pande besi.
Teknologi dalam Industri Pande Besi Jawa Kuno
Teknologi logam Jawa kuno pada abad VIII tidak lagi dalam tahap
eksperimental, tetapi sudah mencapai tahap yang matang, yang disebabkan
oleh faktor kebutuhan yang lebih banyak terhadap benda-benda yang
digunakan dalam sistem budaya pada saat itu. Penentuan dan pemilihan
logam secara sengaja, didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan
tertentu, seperti faktor teknis, faktor simbolis, faktor estetis dan mungkin juga
faktor ekonomis. Pertimbangan-pertimbangan tersebut akan disesuaikan
dengan pertimbangan yang menyangkut segi-segi teknik perwujudan suatu
benda. Menurut Cyril Smith, di dalam sejarah teknologi terbukti bahwa jauh
sebelum manusia menemukan unsur-unsur suatu material, mula-mula yang
menarik perhatian manusia adalah daya tarik estetisnya. Kemudian setelah
itu dimanfaatkan untuk tujuan artistik, magis dan religius (Haryono, 2001: 5-
7).
Pertimbangan ekonomis berhubungan dengan keberadaan sumber
bahan. Di dalam teori invensi dikatakan bahwa invensi teknologi di suatu
wilayah budaya akan terjadi apabila terpenuhi beberapa syarat, yaitu
kepandaian masyarakat (genius), kebutuhan terhadap benda itu sendiri
(needs), kesempatan untuk mencipta (opportunity), dan tersedianya sumber
bahan (resources). Menurut Dixion, tersedianya sumber bahan belum
menjamin terciptanya suatu karya apabila masyarakatnya belum memiliki
kemampuan. Demikian pula sebaliknya tidak adanya sumber bahan bukan
faktor penghalang terjadinya invensi teknologi karena masyarakat sangat
di dalam
sejarah
teknologi
terbukti bahwa
jauh sebelum
manusia
menemukan
unsur-unsur
suatu material,
mula-mula
yang menarik
perhatian
manusia
adalah daya tarik estetisnya.
memerlukan kepandaian untuk menghasilkan suatu benda. Oleh karena itu,
kalau tuntutan kebutuhan masyarakat akan benda-benda yang terbuat dari
logam cukup besar, meskipun di wilayah yang bersangkutan tidak cukup
tersedia deposit bijih logam bahan dasar, maka bahan dasar dapat diperoleh
melalui kontak dagang. Pada masa klasik, sebagaimana tampak dari
berbagai prasasti tercermin adanya kegiatan ekonomi menjual logam sebagai
bahan dasar pembuatan artefak-artefak. (Haryono, 2001: 6)
Teknologi pande besi Jawa kuno dapat dilacak berdasarkan relief
Candi Sukuh di daerah Karanganyar, Jawa Tengah dari abad XV M. Dari
gambaran yang ada, dapat diketahui alat-alat yang digunakan serta posisi
masing-masing tokoh dalam relief tersebut sehingga dapat diketahui cara
kerja pande besi pada saat itu. Berdasarkan gambar relief tersebut, untuk
pekerjaan pande besi, paling tidak diperlukan dua pekerja (1 orang pengubub
dan 1 orang pande). Pada salah satu bangunan di Candi Sukuh digambarkan
dua tokoh saling berhadapan, tokoh yang pertama berada di sebelah kanan
(selatan) digambarkan berdiri menghadapi sebuah ububan (alat penghembus
udara), dengan kedua tangannya memegangi kedua tongkat ububan. Tokoh
yang ke 2 berada di sebelah kiri (utara) dalam posisi duduk jongkok dengan
kedua kaki terbuka, sedangkan tangan kiri memegang sebuah tongkat
panjang yang disodorkan ke arah tempat keluarnya api dari ububan. Di
depan tokoh tersebut terdapat bermacam-macam alat atau barang yang
dihasilkan. Di antara kedua tokoh tersebut terdapat relief yang
menggambarkan seorang manusia berkepala gajah, dengan posisi berdiri di
atas satu kaki membelakangi tokoh yang memegang tongkat ububan.
Tangan kanan memegang seekor binatang, sedangkan tangan kiri
memegang ekor binatang tersebut. Sebagai latar belakang gambar binatang
tersebut, tampak adanya gambar seperti lidah api. Kalau kedua tokoh yang
pertama digambarkan lengkap dengan pakaian dan perhiasan, tetapi tidak
demikian halnya dengan tokoh manusia berkepala gajah, hanya ada surban
di kepalanya. Dengan adanya relief pandai besi pada suatu candi,
menunjukkan bahwa golongan pekerja ini mempunyai peranan dan
kedudukan penting dalam menunjang kehidupan suatu kerajaan (Subroto
dan Pinardi, 1993: 213).
Alat-alat yang tampak di relief Candi Sukuh adalah ububan, supit /
sapit, palu, paron, tatah dan kikir. Sapit adalah alat untuk menjepit bahan
logam yang akan di tempa, baik dalam perapian maupun sedang ditempa.
Palu adalah alat untuk memukul bahan tempaan agar menjadi tipis dan
padat. Paron adalah landasan benda tempaan. Di Candi Sukuh, paron
diletakkan bersama-sama dengan atau sekelompok dengan palu. Jenis alat
lain yang terdapat di Candi Sukuh adalah tatah (Subroto dan Pinardi, 1993:
213).
Kitab Tantu Panggelaran berisi suatu keterangan yang menarik
mengenai unsur-unsur yang penting di dalam memandang pekerjaan pande.
untuk
pekerjaan
pande besi,
paling tidak
diperlukan dua
pekerja (1
orang
pengubub dan
1 orang
pande).
Dari salah satu bagian kitab tersebut dapat diketahui bahwa Dewa Brahma
dianggap sebagai dewanya golongan pande, selanjutnya disebutkan bahwa
di dalam diri Dewa Brahma terkandung lima unsur utama (paƱcamahabhuta)
yaitu, Prtiwi, Teja, Bayu, Aksa, dan Apah. Prtiwi merupakan unsur bumi,
dipercayai mempunyai sifat seperti paron atau parwan. Teja merupakan
unsur cahaya atau sinar, dan dipercayai mempunyai sifat api atau apuy. Bayu
merupakan unsur angin, dipercayai mempunyai sifat seperti ububan. Akasa
mempunyai unsur angkasa atau langit, dianggap mempunyai sifat sebagai
palu. Apah atau air, dianggap mempunyai sifat sebagai capit atau sapit. Dari
uraian ini maka dapat diketahui bahwa kecenderungan masyarakat Jawa
kuno untuk tidak mau melepaskan hal-hal yang berhubungan dengan
kepercayaan dan teknologi merupakan awal terbentuknya masyarakat
religius (Subroto dan Pinardi, 1993: 215).
REFERENSI
Denzin, Norman K dan Lincoln, Yvonna S, (2009). Handbook of Qualitative
Research, Terj. Dariyatno, Badrus Samsul Fata, Abi dan John Rinaldi.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar,.
Haryono, Timbul, (2008). Logam dan Peradaban Manusia. Yogyakarta:
Philoshophy Press.
Haryono, Timbul, (2008). Seni Pertunjukan dan Seni Rupa dalam Perspektif
Arkeologi Seni. Surakarta: ISI Press Solo.
Kartodirdjo, Sartono, (1993). 700 Tahun Majapahit suatu Bunga Rampai.
Surabaya: Dinas Pariwisata Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa
Timur.
Reid, Anthony, (2011). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1:
Tanah di Bawah Angin, Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Yudoseputro, Wiyoso, (2005). Historiografi Seni Indonesia. Bandung:
Penerbit ITB.
http://www.isi-dps.ac.id/berita/relasi-bolak-balik-antara-seni-dan-daya-hidup
Dewa Brahma dianggap sebagai dewanya golongan pande
Komentar
Posting Komentar